06 September 2007

Korupsi ? nanti dulu

Memberantas korupsi di negara kita bukanlah perkara mudah, hal ini karena korupsi sudah menjadi budaya yang terstruktur dan sistematis. Oleh karenanya saya mengambil langkah “Ibda’ bi nafsik” mulailah dari dirimu. Ada 3 prasyarat yang menjadi pertimbangan saya untuk menerima sesuatu setelah menjadi anggota dewan, karena jabatan itu melekat sehingga kalau tidak hati hati bisa masuk kategori risywah “suap” atau juga korupsi. Tiga hal tersebut adalah pertama apa yang saya terima haruslah halal secara syar’i , artinya tidak ada larangan atau nash yang mengharamkannya. Sehingga kalo itu bukan hak saya pasti akan saya tolak. Kedua benar secara prosedural, maka akan saya lihat bagaimana undang-undang atau peraturan yang lain mengaturnya tentang keberadaan uang yang akan saya terima, ketiga aman secara politis, ini juga menjadi pertimbangan saya untuk menerima sesuatu. Sehingga ketika saya disodori sesuatu selalu saya tanya dulu ini uang apa, dari mana dan untuk apa. Ketika dari tiga aspek ini terpenuhi maka saya akan ambil uang itu.

Uang Gedogan itu..

Sehabis pembahasan APBD dan kemudian disyahkan atau istilahnya di “dog” biasanya ada yang namanya uang gedogan atau uang tokcer (ditok langsung cair). Budaya ini sudah berlangsung lama, nah saya dan seorang lagi teman saya mempertanyakan uang itu sehingga akhirnya kami tidak mengambilnya dan menolaknya, sampai akhirnya berita itu

tercium oleh wartawan dan sempat diblow up oleh beberapa media baik lokal maupun regional. Karuan saja saya dan seorang teman saya itu di “kuyo-kuyo sama sesama anggota” …nolak ya nolak tapi mbok jangan ngomong dikoran. Nah sejak kejadian itu teman-teman lebih berhati-hati dalam urusan uang yang tak jelas itu. Uang Gedogan tentu tidak ada dalam anggaran APBD, sehingga benar saja ketika laporan tahuan yang diperiksa BPK uang itu diminta untuk dikembalikan bagi yang menerimanya. Alhamdulillah budaya itu sekarang sudah tidak ada.

Pesan Sponsor

Praktek seperti ini masih sering juga dilakukan, pernah suatu ketika saya disodori amplop dari seorang pengusaha, kemudian saya tanya maksudnya apa, dari jawaban yang disampaiakn saya berkesimpulan ini pesan sponsor sehingga dengan tegas saya menolaknya karena ini sudah kategori risywah.

Ampop Lebaran

Lebaran bagi anggota dewan adalah suatu hal yang perlu modal besar, bagaimana tidak dia harus menjaga kostituennya agar tetap mendukungnya dengan bingkisan lebaran atau parsel. Dari kebutuhan yang besar inilah membuka peluang bagi anggota dewan untuk “ngasab” ke beberapa relasi atau instansi (meskipun tidak semuanya seperti itu) tapi ini memang memicu untuk seperti itu. Suatu ketika saya mendapat tiga amplop lebaran dari notulis saya dan saya tanya dari mana, kemudian amplop itu saya terima dan selanjutnya saya kembalikan kepada sang pemberi amplop, karena saya melihat ini tidak aman secara politis karena sadar maupun tidak akan mempengaruhi sikap saya dalam mengkritisi kebijakan-kebijakan eksekutif.

Itulah beberapa cerita saya tentang korupsi yang saya awali dari diri saya.

0 Comments:

Recent Comments

© blogger beta templates | Webtalks